Sportstourismindonesia – Jakarta, a Desember 2024, Di tengah gempuran globalisasi dan modernisasi, makanan tradisional Nusantara muncul sebagai solusi cerdas untuk menjawab berbagai tantangan zaman. Tidak hanya menawarkan cita rasa yang otentik, makanan ini juga memadukan filosofi budaya, nilai gizi seimbang, dan kelestarian alam—sebuah kombinasi yang semakin relevan bagi masyarakat modern yang mencari akar identitas mereka di tengah perubahan zaman.
Filosofi di Balik Hidangan Tradisional
Setiap sajian tradisional di Indonesia adalah cerita. Rendang, misalnya, bukan sekadar lauk daging berbumbu kaya, tetapi juga simbol kebersamaan dan penghormatan. Dalam tradisi Minangkabau, rendang dimasak dalam waktu lama, mencerminkan kesabaran dan ketekunan. Filosofi ini menjadi pengingat akan pentingnya nilai-nilai yang kini sering terabaikan dalam kehidupan modern.
Hal serupa berlaku untuk papeda, makanan khas Papua yang disantap bersama ikan kuah kuning. Lebih dari sekadar makanan, papeda mencerminkan hubungan erat masyarakat Papua dengan alam yang mereka jaga sebagai sumber kehidupan.
“Setiap hidangan tradisional adalah hasil hubungan harmonis antara manusia dan alam, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Inilah warisan yang harus kita jaga,” ujar Sutamara Lasurdi Noor, Koordinator Food Culture Alliance Indonesia.
Dilema Modern: Pangan Lokal vs Makanan Instan
Namun, tantangan besar menghantui keberlanjutan makanan tradisional. Pola makan masyarakat mulai bergeser, terutama di perkotaan. Beras, mi instan, dan makanan cepat saji lebih sering menjadi pilihan dibandingkan pangan lokal seperti ubi, sagu, atau jagung.
“Fenomena ini sangat memprihatinkan,” ujar Jaqualine Wijaya, CEO Eathink. “Pangan lokal sering dianggap kurang bergengsi, padahal kaya akan nilai gizi dan keberlanjutan.”
Ironisnya, di saat masyarakat pedesaan mulai meninggalkan tradisi pangan mereka, makanan tradisional justru naik kelas di restoran urban. Hidangan seperti nasi liwet, rawon, atau gudeg kini tampil di restoran high-end dengan konsep yang modern. Ini membuktikan bahwa makanan tradisional tetap memiliki tempat, meskipun cara menikmatinya berubah.
Makanan Lokal sebagai Solusi Gizi dan Lingkungan
Menurut Khoirul Anwar dari Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), makanan tradisional Nusantara menawarkan solusi untuk isu gizi dan lingkungan. Masakan seperti sayur asam, urap, atau pecel tidak hanya mudah diolah tetapi juga mengandalkan bahan lokal yang mudah didapatkan.
“Makanan tradisional kita memanfaatkan apa yang ada di sekitar, sehingga lebih ramah lingkungan,” jelasnya. “Selain itu, pola makan tradisional cenderung lebih seimbang karena melibatkan karbohidrat, protein, dan sayuran.”
Pendekatan ini juga berkaitan dengan kelestarian alam. Pemanfaatan bahan pangan lokal berarti mengurangi ketergantungan pada impor, sekaligus mendorong praktik agroekologi yang menjaga keseimbangan ekosistem.
Kembali ke Akar, Menuju Masa Depan
Meningkatkan kesadaran akan pentingnya makanan tradisional tidak hanya soal nostalgia, tetapi juga strategi untuk menciptakan masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan. Dengan mengedepankan pangan lokal, masyarakat tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga mendukung petani kecil dan pelestarian lingkungan.
“Budaya pangan tradisional harus direvitalisasi, tidak hanya sebagai warisan budaya tetapi sebagai solusi modern,” tegas Virginia Kadarsan dari Gastronomi Indonesia Network.
Makanan tradisional Nusantara bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang nilai. Di tengah tantangan globalisasi, hidangan-hidangan ini mengajarkan kita untuk tidak melupakan akar kita. Dengan menghargai tradisi, kita juga bisa membangun masa depan yang lebih baik—bagi kesehatan manusia, budaya, dan bumi.
**Benksu